Assalamu 'alaikum warohmatullahi Wabarokatuh

Tuesday, January 14, 2014

Larangan berhubungan dengan jin


  
Larangan Berhubungan dengan Jin
          Jin adalah salah satu makhluk ghaib yang telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya.
          Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-dzariyat (51): 56).
          Sebagaimana malaikat, kita tidak dapat mengetahui informasi tentang jin serta alam ghaib lainnya kecuali melalui khabar shadiq (riwayat & informasi yang shahih) dari Rasulullah saw baik melalui Al-Quran maupun Hadits beliau yang shahih. Alasannya adalah karena kita tidak dapat berhubungan secara fisik dengan alam ghaib dengan hubungan yang melahirkan informasi yang meyakinkan atau pasti.
          Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila (kapan) mereka akan dibangkitkan. (An-Naml (27): 65)
          Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin (72): 26-28)

a.     Manusia diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan mu’amalah (pergaulan) dengan sesama manusia, karena tujuan hubungan sosial adalah untuk melahirkan ketenangan hati, kerja sama yang baik, saling percaya, saling menyayangi dan saling memberi. Semua itu dapat berlangsung dan terwujud dengan baik, karena seorang manusia dapat mendengarkan pembicaraan saudaranya, dapat melihat sosok tubuhnya, berjabatan tangan dengannya, melihatnya gembira sehingga dapat merasakan kegembiraannya, dan melihatnya bersedih sehingga bisa merasakan kesedihannya.
          Allah swt mengetahui fitrah manusia yang cenderung dan merasa tentram bila bergaul dengan sesama manusia, oleh karena itu, Dia tidak pernah menganjurkan manusia untuk menjalin hubungan dengan makhluk ghaib yang asing bagi manusia.
          Bahkan Allah swt tidak memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan malaikat sekalipun, padahal semua malaikat adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya. Para nabi dan rasul alahimussalam pun hanya berhubungan dengan malaikat karena perintah Allah swt dalam rangka menerima wahyu, dan amat berat bagi mereka jika malaikat menampakkan wujudnya yang asli dihadapan mereka. Oleh karena itu tidak jarang para malaikat menemui Rasulullah saw dalam wujud manusia sempurna agar lebih mudah bagi Rasulullah saw untuk menerima wahyu.
          Tentang ketentraman hati manusia berhubungan dengan sesama manusia Allah swt berfirman:
          Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum (30): 21).
          Makna “dari jenismu sendiri’ adalah dari sesama manusia, bukan jin atau malaikat, atau makhluk lain yang bukan manusia. Karena hubungan dengan makhluk lain, apalagi dalam bentuk pernikahan, tidak akan melahirkan ketentraman, padahal ketentraman adalah tujuan utama menjalin hubungan.
          Beberapa Informasi tentang  Jin dari Al-Quran dan Hadits
       Jin diciptakan dari api dan diciptakan sebelum manusia
          Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. (Al-Hijr (15): 26-27).
Nabi saw bersabda:
          خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ (رواه مسلم).
          Malaikat telah diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari tanah (yang telah dijelaskan kepada kalian). (HR. Muslim).
       
  b.  Jin adalah makhluk yang berkembang biak dan berketurunan
          Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi (18): 50).
          Al-Quran juga menyebutkan bahwa diantara bangsa jin ada kaum laki-lakinya (rijal) sehingga para ulama menyimpulkan berarti ada kaum perempuannya (karena tidak dapat dikatakan laki-laki kalau tidak ada perempuan). Dengan demikian berarti mereka berkembangbiak.
          Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin (72): 6).

c. Jin dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat jin
         Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al-A’raf (7): 27).
         Hal ini membuat kita tidak dapat berhubungan dengan mereka secara wajar sebagaimana hubungan sesama manusia. Kalau pun terjadi hubungan, maka kita berada pada posisi yang lemah, karena kita tidak dapat melihat mereka dan mereka bisa melihat kita.
                     
 d. Bahwa diantara bangsa jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir, karena mereka diberikan iradah (kehendak) dan hak memilih seperti manusia.
 Akibat berhubungan dengan jin :
         Berhubungan dengan jin adalah salah satu pintu kerusakan dan berpotensi mendatangkan bahaya besar bagi pelakunya. Potensi bahaya ini dapat kita pahami dari hadits Qudsi di mana Rasulullah saw menyampaikan pesan Allah swt:
         وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا  (رواه مسلم)
         Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus), dan sungguh mereka lalu didatangi oleh syaithan-syaithan yang menjauhkan mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan hal-hal yang tidak pernah Aku wahyukan kepada mereka sedikitpun. (HR. Muslim).

Dalil lain tentang larangan berhubungan dengan jin adalah:
         Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin (72): 6).
         Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan: “Ada penduduk kampung dari bangsa Arab yang menuruni lembah dan menambah dosa mereka dengan meminta perlindungan kepada jin penghuni lembah tersebut, lalu jin itu bertambah berani mengganggu mereka.

Tujuan seorang muslim melakukan hubungan sosial adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan berusaha meningkatkannya atau untuk menghindarkan dirinya dari segala hal yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah. Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik seperti yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar berma’shiat kepada Allah swt.
         berhubungan dengan jin yang mengaku muslim? Kita tetap tidak dapat memastikan kebenaran Bagaimana pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi menyelidikinya. Bila jin tersebut muslim sekalipun, bukan menjadi jaminan bahwa ia adalah jin muslim yang baik dan taat kepada Allah.
         Tujuan seorang muslim melakukan hubungan sosial adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan berusaha meningkatkannya atau untuk menghindarkan dirinya dari segala hal yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah. Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik seperti yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar berma’shiat kepada Allah swt.
         Bagaimana berhubungan dengan jin yang mengaku muslim? Kita tetap tidak dapat memastikan kebenaran pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi menyelidikinya. Bila jin tersebut muslim sekalipun, bukan menjadi jaminan bahwa ia adalah jin muslim yang baik dan taat kepada Allah.
     Di samping itu, tidak ada manusia yang dapat menundukkan jin sepenuhnya (taat sepenuhnya tanpa syarat) selain Nabi Sulaiman as dengan doanya:
                         Sulaiman berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi". (Shad (38): 35).
         Maka berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu menghendakinya, dan sering kali ia baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap akan menggiring manusia jatuh kepada kema’siatan, bahkan mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang mengeluarkannya dari ajaran Islam. Na’udzu billah.



Intim bersama ALLAH SWT


“INTIM BERSAMA ALLAH SWT“

Seorang shalih ditanya, “Apa yang paling engkau takuti?” Ia menjawab, “Rasa intimku dengan Allah swt memutus semua ketakutanku .”Itulah al Unsu billah. Artinya, rasa tenang, tentram, damai, rindu, intim dengan Allah swt. Firman Allah swt, “Dan bila hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, katakan lah sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permintaan yang meminta bila ia meminta kepada-Ku. Maka penuhilah seruanku, berimanlah kepada-Ku agar mereka mendapatkan petunjuk.” (QS. Al Baqarah : 186)
Ikhwah sekalian,
Al unsu billah, adalah buah dari ketaatan dan rasa cinta seorang hamba
kepada-Nya. Semua hamba Allah swt yang taat kepada-Nya, pasti merindukan
dan merasakan kedekatan dan keintiman pada Allah swt. Sebaliknya, orang
yang melakukan kemaksiatan kepada-Nya, makin merasa jauh dengan-Nya
atau tidak menyukai-Nya.
Banyak di antara kita yang sudah menjalani hubungan dengan Allah swt secara
rutinitas. Namun barangkali, kita hanya melakukannya lebih karena kita sudah
berulangkali dan terbiasa melakukannya sejak kecil. Itu baik dan benar. Tapi
kita tentu ingin sekali menjadikan hubungan kita dengan Allah, memiliki tali
cinta, hubungan yang memiliki rasa keintiman, seperti yang digambarkan
dalam firman-Nya “yuhibbuhum wa yuhibbunah”, Allah cinta pada mereka dan
mereka cinta kepada Allah.
Perhatikanlah, Allah swt memulai kalimat-Nya dengan kata-kata “Yuhibbuhum”
(Allah mencintai mereka), baru disusul dengan kata “Yuhibbuunah” (Mereka
mencintai Allah swt). Rasakanlah bahwa hubungan antara kita dengan Allah
swt, asasnya adalah cinta. Sadarilah bahwa Allah swt lah yang mengawali tali
cinta ini kepada kita. Bukan kita yang mengawalinya. Ini semata-mata
menunjukkan betapa kasih sayang dan kecintaan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya begitu luar biasa dan menakjubkan.
RISALAH NAQIB-2 2
Ikhwah… uhibukum fillah..
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Al Unsu billah, hanya bisa
diperoleh lewat ketaatan. Karena sikap menolak ketaatan selalu memunculkan
al wahsyah (gelisah, tidak nyaman, ingin menjauh).... Tinggi rendahnya kadar al
unsu billah dalam diri seseorang, tergantung dari kadar kedekatan
hubungannya dengan Allah swt. Kian hatinya dekat pada Allah, maka al unsu
billah nya akan semakin kuat.”
Al Unsu billah, rasa intim bersama Allah swt, merupakan perpaduan dari rasa
mengagungkan dan kekhusyu’an. Suasana yang memenuhi jiwa manusia, yang
menjadikan rasa bahagia saat berkhalwat dengan-Nya. Mendapati keteduhan
dalam kesendiriannya bersama Allah swt. Bisa mencurahkan rasa hatinya
kepada-Nya. Mampu terus menerus bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Terus
menyenandungkan do’a, pujian, tasbih kepada-Nya. Merasakan bahwa seluruh
alam semesta dan isinya, seluruh makhluk yang ada, tanaman, tumbuhan,
gunung, udara, batu-batu, pasir, tanah, angin, semua bersama-sama
mengucapkan tasbih. Merasakan adanya hubungan kasih sayang, antara diri
dan alam sekitarnya. Inilah ungkapan yang menggambarkan perpaduan antara
tasbih, syukur, dan bukti-bukti cinta Allah swt yang terhampar di seluruh alam
ini.
Ikhwah semoga Allah  melimpahkan cintaNya kepada kita,
Inilah keintiman sejati. Semoga Allah swt merahmati Ibnu Taimiyah yang
mengatakan, “Sungguh penjara bagiku adalah khalwat, dan pembunuhan atas
diriku adalah mati syahid, pengusiranku adalah wisata di bumi Allah swt...
Ustadz Mushtafa Masyhur dalam kitab Ar Rabbaniyah wa Al Maaddiyyah
menceritakan. “Ada salah seorang Muslim yang dipenjara seorang diri dalam
sel penjara yang ditutup sepanjang malam dan siang. Tak satupun orang yang
bisa berkomunikasi dengannya. Ia hanya boleh keluar dengan kawalan para
penjaga penjara, saat membuang hajat di waktu pagi, dan waktu sore. Hanya
itu. Bila kita gambarkan kondisi orang tersebut, kita akan menyangka dirinya
dalam kondisi tertekan dan terluka. Tapi ternyata tidak demikian. Ia berada
dalam kondisi tentram karena merasakan kesendiriannya bersama Allah.
Kitabullah yang selalu menemaninya, yang selalu ia baca dan ia renungi isinya,
lalu ia ambil cahaya darinya. Ia selalu bangun di waktu sahur dan bermunajat
pada  Rabbnya dalam keheningan malam.. Ia ketuk pintu Yang Maha Pemurah
dengan rakaat-rakaat dan sujud-sujud tahajjud, diiringi tetesan air mata rindu
dan takut kepada-Nya. Seperti itulah iklim kebahagiaan jiwanya. Seperti itulah  rasa intimnya bersama Allah swt. Ia seperti berada di alam luas, bukan di dalam tembok segi empat dan pintu penjara yang terkunci. Seorang sipir
penjara yang menjaganya, pernah merasa kasihan melihat kondisi orang itu. Ia
kemudian berinsiatif untuk membuka pintu penjara sedikit. Tapi orang yang
ada dalam penjara itu justru mengatakan, bila pintu penjara yang dibuka itu
justru mengurangi keintimannya dengan Allah swt. Dan bahkan justru merasa
was was dibandingkan bila pintu itu tertutup. Demikianlah kita melihat salah
satu bukti bahwa Rabbaniyah dengan ragam maknanya, bisa menjadikan
kesempitan itu kelapangan, kedukaan menjadi bahagia, rasa terancam menjadi
tenang dan intim.”
Ikhwah fillah…
Dengarkanlah perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Bila manusia
disibukkan dengan dunia, maka sibukkanlah dirimu dengan Allah swt. Bila
manusia gembira dengan dunia, maka gembiralah dirimu dengan Allah swt.
Bila manusia merasa nyaman dengan yang dicintainya dari makhluk, maka
rebutlah rasa nyamanmu bersama Allah. Bila manusia pergi kepada raja dan
petinggi penguasa meminta rizki, maka pergilah engkau kepada Allah...
Maka, seseorang yang hatinya disibukkan karena cinta kepada Allah swt, dipenuhi oleh keimanan kepada-Nya, pasti merasakan ketentraman, keamanan, keteduhan dalam hatinya. Ia pasti merasakan keintimannya dengan Allah swt di setiap waktu, di setiap menit, setiap detik, setiap jantung nya
berdetak sepanjang hidupnya. Merasa nikmat dan tenang dalam rutinitas
dzikir, ibadah, dan tilawah ayat-ayat-Nya. Tak ada lagi kenikmatan melebihi suasana itu..
Wallahu A’lam